DIAGNOSTIK DAN PENANGANAN KETUBAN PECAH DINI, AMNIONITIS DAN EMBOLI AIR KETUBAN

Ketuban Pecah Dini (KPD)

Insiden KPD secara umum sebesar 10% pada kehamilan, dan KPD itu sendiri menyumbang sekitar 30-40% kejadian persalinan preterm, sementara itu persalinan preterm dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir sebesar 80-85%. Faktor lain yang berhubungan dengan KPD antara lain: sosial ekonomi, BMI yang kurang dari normal, konsumsi tembakau/merokok aktif maupun pasif, riwayat KPD sebelumnya, infeksi saluran kemih, perdarahan pervaginam, inkompeten serviks dan amniosintesis.1

Di Amerika, Ketuban Pecah Dini pada usia premature / Preterm Premature Rupture Of the Membrane (PPROM) menyebabkan 3% dari semua jenis komplikasi dan terjadi pada ± 150.000 kehamilan setiap tahunnya. Jika KPD berlangsung lama atau masih jauh dari usia aterm, maka secara signifikan akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas tidak hanya pada bayi tetapi juga pada ibunya. Oleh karena itu petugas kesehatan harus memahami dengan betul tentang diagnosis dan penanganan KPD.1-3

1. Pengertian KPD

  • KPD adalah keluarnya air-air dari vagina setelah usia kehamilan 22 minggu. Ketuban dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm maupun aterm.4
  • KPD atau dikenal juga Prematur Rupture Of the Membrane (PROM) adalah Keluarnya air-air per vaginam akibat pecahnya selaput ketuban secara spontan pada usia ≥ 34 minggu.5
  • Ketuban pecah yang berkepanjangan/Prolonged Rupture of Membrane adalah ketuban yang pecah lebih dari 24 jam atau disebut juga Ketuban Pecah Lama (KPL)5

2. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala KPD dapat berupa:4, 6

  • Ketuban pecah secara tiba-tiba
  • Keluar cairan ketuban dengan bau yang khas
  • Bisa tanpa disertai kontraksi/his
  • Terasa basah pada pakaian dalam/underwear yang konstan
  • Keluarnya cairan pervagina pada usia paling dini 22 minggu

Dibawah ini adalah table bagaimana mendiagnostik pengeluaran cairan vagina pada ibu hamil.4

Tabel 1. Diagnosis Cairan Vagina

Gejala Dan Tanda Yang Selalu Ada

Gejala Dan Tanda Yang Kadang-Kadang Ada

Diagnosis Kemungkina

Keluar cairan ketuban
  • Ketuban pecah tiba-tiba
  • Cairan tampak di introitus
  • tidak ada his dalam 1 jam
Ketuban Pecah Dini (KPD)
  • Cairan vagina berbau
  • Demam menggigil
  • Nyeri peru
  • Riwayat keluar cairan
  • Nyeri pada uterus
  • DJJ cepat
  • Perdarahan pervaginan sedikit-sedikit
Amnionitis
  • Cairan vagina berbau
  • Tidak ada riwayat ketuban pecah
  • Gatal
  • Keputihan
  • Nyeri perut
  • Disuria
Vaginitis/servisitis
Cairan vagina berdarah
  • Nyeri perut
  • Gerak janin berkurang
  • Perdarahan banyak
Perdarahan Antepartum
Cairan berupa darah dan lendir
  • Pembukaan dan pendataran serviks
  • Ada his
Awal persalinan preterm atau aterm

3. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya KPD antara lain:6-8

  • Inkompetensia servik
  • Polihidramnion
  • Malpresentasi janin
  • Kehamilan kembar
  • Vaginitis/servisitis, Infeksi Menular Seksual seperti Clamydia dan Gonore
  • Riwayat persalinan premature
  • Perokok (Pasif/aktif) selama kehamilan
  • Perdarahan pervaginam
  • Penyebab yang tidak diketahui
  • Sosial ekonomi (minimnya ANC)
  • Ras : kulit hitam lebih berisiko KPD dibanding kulit puti

4. Komplikasi KPD

Komplikasi yang dapat terjadi akibat KPD antara lain:6, 8

  • Partus Prematur
  • Berkembangnya infeksi yang serius pada plasenta yang menyebabkan korioamnionitis
  • Abrupsio plasenta
  • Kompresi talipusat
  • Infeksi pospartum

5. Pemeriksaan

Lakukan tes lakmus (tes nitrasin) dengan cara:4

  • Lakukan pemeriksaan inspekulo, nilai apakah ada cairan keluar melalui ostium uteri eksternum (OUE) atau terkumpul di forniks posterior
  • Dengan pinset panjang atau klem panjang masukan kertas lakmus ke dalam serviks.
  • Jika kertas lakmus berubah warna menjadi biru, maka tes lakmus positif atau menunjukan adanya cairan ketuban (alkalis)

Harus diperhatikan, darah dan infeksi vagina dapat memberikan hasil positif palsu/false positive. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya seperti ultrasonografi untuk melihat indeks cairan amnion. Cara lain yaitu dengan pemeriksaan mikroskopis yaitu tes pakis. Tes Pakis dilakukan dengan cara meneteskan cairan amnion pada objek glas, tunggu hingga kering dan diperiksa di mikroskop, Jika Kristal cairan tersebut berbentuk seperti pakis, maka cairan tersebut adalah cairan amnion yang menandakan tes pakis positif.4

Secara ultrasonografi, Indeks cairan amnion (ICA) diukur pada 4 kuadran. Jika ditemukan ICA kurang dari 8 cm disebut oligohidramnion dan jika > 25 cm disebut polihidramnion. Sumber lain mengatkan bahwa range normal ICA adalah 5-25 cm.9 Empat kuadran untuk pengukuran ICA dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

4 kuadran ICA

Gambar 1. Empat kuadran untuk mengukur indeks cairan ketuban

Sumber: Parinatology.com 9

Pengukuran indeks cairan ketuban dengan USG diukur dengan meletakan probe USG sejajar dengan sumbu longitudinal pasien dan tegak lurus dengan lantai. Setiap kuadran dihitung dalam sentimeter. Keempat pengukuran kemudian dijumlahkan untuk menghitung ICA (gambar 2).10

cara ukur ICA

Gambar 2. Cara mengukur ICA dengan USG

Sumber: Ultrasoundpaedia 10

Berikut ini adalah gambar grafik indeks cairan amnion untuk mengetahui normal atau tidaknya indeks cairan ketuban ibu hamil.

Gambar 3. Indeks cairan amnion (ICA)

Sumber : Devore diunduh dari: http://www.fetal.com/IUGR/treatment.html1

Grafik diatas ini menunjukan ICA pada kehamilan tunggal, garis tengah menunjukan rentang normal. Pada kehamilan 35 minggu ICA 16, dan  4 harikemudian, terjadi penurunan ICA secara drastic sampai6,3. Hal ini tidak diperhatikan oeh petugas kesehatan (bidan, perawat dan dokter) sehingga beberapa hari kemudian terjadi kerusakan yang jukup berat yakni penekanan tali pusat yang menyebabkan cerebal palsi.

6. Penanganan

Penanganan KPD adalah sebagai berikut:4

  1. Rawat inap di Rumah sakit
  2. Jika ada perdarahan pervagina disertai nyeri perut, pikirkan adanya abrupsio plasenta
  3. Jika ada tanda-tanda infeksi (demam, cairan vagina berbau) berikan antibiotika sama halnya pada amnionitis
  4. Jika tidak ada tanda infeksi dan kehamilan < 37 minggu:
    1. Berikan antibiotika ampisilin 4 x 500 mg selama 7 hari ditambah eritromisin 3 x 250 mg peroral selama 7 hari
    2. Berikan kortikosteroid untuk pematangan paru
      • Betametason 12 mg IM dalam 2 dosis setiap 12 jam
      • Atau deksametason 6 mg IM dalam 4 dosis setiap 6 jam
      • Kortikosteroid jangan kalau ada infeksi
  5. Lakukan persalinan pada kehamilan 37 minggu
    1. Jika terdapat his dan lendir darah, kemungkinan terjadi persalinan premature
    2. Jika tidak terdapat infeksi dan kehamilan > 37 minggu:
      • Jika ketuban sudah pecah > 18 jam, berikan antibiotic profilaksis
      • Ampisilin 2 gram IV setiap 6 jam
      • Atau penisilin G 2 juta unid IV setiap 6 jam hingga persalinan terjadi
      • Jika tidak ada infeksi pasca persalinan, hentikan antibiotika
  6. Nilai serviks
    • Jika serviks sudah matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin
    • Jika serviks belum matang, matangkan serviks dengan prostaglandin dan infus oksitosin atau lahirkan dengan seksio sesarea

7. Pencegahan

Hingga kini belum ditemukan tindakan pencegahan terhadap KPD. Evidence base melaporkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara merokok dengan KPD,6 oleh karena itu ibu hamil yang merokok harus berhenti merokok bahkan sebelum terjadi konsepsi, dan juga terhadap perokok pasif agar lebih berhati-hati dengan menghindari perokok aktif di sekitarnya. Selain itu melihat penyebab adalah IMS dan infeksi vagina atau servik, maka personal hygiene dan hubungan seksual yang aman hanya dengan pasangan dianjurkan untuk menghindari faktor risiko yang dapat dicegah.

 

Amnionitis dan Korioamnionitis

1. Pengertian Amnionitis dan Korioamnionitis

Amnionitis adalah radang pada selaput amnion.

Korioamnionitis adalah radang pada korion dan selaput amnion

Korioamnionitis atau infeksi intraamniotik adalah inflamasi akut pada membran dan korion plasenta, terjadi karena infeksi bakteri polymicrobial secara asenden pada saat pecahnya selaput ketuban.12

 

2. Insiden Korioamnionitis

Insiden korioamnionitis di Amerika secara umum sekitar 1-4%. Korioamnionitis menjadi komplikasi sekitar 40-70% terhadap persalinan preterm dengan KPD dan sekitar 1-13% persalinan aterm. Kasus ini menjadi salah satu indikasi utama dilakukannya tindakan seksio sesarea.12

 

3. Faktor Risiko Korioamnionitis

Faktor risiko terjadinya korioamnionitis dari beberapa penelitian dapat dilihat pada table berikut.12

 

Tabel 2. Faktor Risiko Korioamnionitis

No Faktor Risiko Risio Relatif (RR) Penelitian
1 KPD dan KPL·      ≥ 12 jam·      > 18 jam 5,86,9 1314
2 Partus Lama·      Kala 2 > 2 jam·      Fase aktif > 12 jam 3,74,0 1415
3 Pemeriksaan dalam yanglebih seringPada saat KPD·      ≥ 3 pemeriksaan 2-5 13, 15
4 Nulipara 1,8 15
5 Grup B Streptokokus 1,7-7,2 15-17
6 Bakteri Vaginosis (BV) 1,7 18
7 Pemakai Alkohol dan Tembakau 7,9 14
8 Meconium –Stained pd cairan ketuban 1,4-2,3 15, 19
9 Monitoring internal (CTG) 2.0 13
10 Epidural anestesia 4,1 14

 

4. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala amnionitis dan Korioamnionitis antara lain

  • Demam maternal
  • Takikardi maternal
  • Nyeri tekan pada uterus
  • Peningkatan suhu vagina (hangat apabila disentuh)
  • Cairan amnion berbau busuk
  • Lekosit meningkat

 

5. Penanganan

  1. Berikan antibiotika kombinasi sampai persalinan terjadi:
    • Ampisilin 2 gram IV setiap 6 jam, ditambah gentamisin 5mg/kgBB IV setiap 24 jam
    • Jika persalinan pervaginam, hentikan antibiotika pascapersalinan
    • Jika persalinan dengan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika dan berikan metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam sampai bebas demam selama 8 jam
  2. Nilai Serviks:
    • Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin
    • Jika serviks belum matang, matangkan dengan prostaglandin dan infus oksitosin atau lakukan seksio sesarea
  3. Jika terdapat metritis denga tanda/gejala demam, keluar cairan pervagina dan berbau, berikan antibiotika sesuai dengan protap
  4. Jika terdapat sepsis pada bayi baru lahir, lakukan kultur dan berikan antibiotika

 

6. Dampak Korioamnionitis

Korioamnionitis yang dialami oleh ibu dapat memberikan dampak yang serius baik bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan antara lain:12

  • Stillbirth
  • Sepsis Neonatal
  • Penyakit paru kronis
  • Kerusakan otak yang menyebabkan cerebral palsy
  • Neurodevelopmental disabilities

 

7. Pencegahan

Pencegahan terhadap terjadinya korioamnionitis antara lain:12, 20-22

  • Penanganan yang tepat pada ibu hamil dengan infeksi saluran kemih maupun infeksi saluran reproduksi selama hamil, karena koriamnionitis terjadi karena invasi kuman secara asenden.
  • Hindari pemeriksaan dalam pada ibu dengan KPD tanpa indikasi
  • Berikan antibiotika dengan dosis yang tepat
  • Induksi persalinan pada usia kehamilan > 34 minggu pada ibu hamil dengan KPD direkomendasikan karena laporan dari berbagai studi membuktikan mengakhiri kehamilan pada usia > 34 minggu dengan KPD dibandingkan dengan mempertahankan kehamilan secara signifikan dapat menurunkan angka infeksi maternal maupun neonatal dan menurunkan angka perawatan bayi di Neonatal Intensive Care Unit (NICU).

 

Emboli Air Ketuban

1. Pengertian Emboli air Ketuban

Emboli air ketuban / Amniotic Fluid Embolism(AFE) adalah sindrom katastropik yang terjadi selama persalinan atau segera setelah persalinan. Emboli air ketuban ini merupakan suatu keadaan dimana cairan amnion masuk ke sirkulasi maternal yang jarang namun fatal dan menyebabkan kematian maternal terutama di Negara sedang berkembang.23, 24

2. Insiden Emboli Air Ketuban

Insiden emboli air ketuban belum diperoleh informasinya. Hal ini disebabkan karena syndrome ini sulit untuk diidentifikasi sehingga sulit untuk menegakkan diagnosanya. Sebagian besar kasus (80%) terjadi pada saat persalinan, tetapi dapat terjadi juga sebelum persalinan (20%) atau setelah persalinan.23

Sumber lain melaporkan bahwa kejadian sebenarnya dari kasus emboli air ketuban hingga saat ini belum diketahui, namun dapat dilaporkan insiden emboli air ketuban berkisar antara 1 dalam 8000 dan 1 dalam 80.000 persalinan, dengan tingkat kematian karena emboli air ketuban sebesar 60%, sekalipun dengan terapi yang agresif dan pengobatan segera. Outcome terhadap neonatus secara umum cukup buruk, dengan tingkat kematian sebesar 20-25%, dan jika hidup, hanya 50% dengan neurologis yang intact.25

3. Etiologi Emboli Air Ketuban

Etiologi terjadinya emboli air ketuban hingga kini masih belum jelas. Evidence terkini melaporkan bahwa terjadinya emboli air ketuban ada hubungannya dengan faktor imunologi. Hal ini disebabkan karena masuknya cairan amnion dalam peredaran darah maternal menyebabkan syok anafilaktik. Temuan ini didasari pada perubahan hemodinamik pada anafilaktik syok dengan emboli air ketuban sama. disamping itu ketika melakukan percobaan pada binatang dengan menyuntikan air ketuban pada pembuluh darahnya, tidak ditemukan adanya kondisi emboli air ketuban. Pada ibu dengan emboli air ketuban, tidak selamanya ditemukan sel fetus dalam tubuh ibu. Oleh karena itu disimpulakan masuknya emboli air ketuban menyebabkan syok anafilaktik yang berimbas pada morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal.25 Patofisiologi terjadinya emboli air ketuban juga belum diperoleh informasi yang jelas dan ajeg.

Pada dasarnya keadaan ini terjadi karena masuknya cairan katuban ke dalam peredaran darah maternal yang dapat dijelaskan pada gambar berikut ini.

 

Patofisiologis Emboli Air Ketuban

Gambar 4. Patofisiologi Emboli Air Ketuban

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Amniotic_fluid_embolism#mediaviewer/File:Amniotic_fluid_embolism.png

4. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala Emboli air ketuban dapat dilihat pada table berikut ini.25

Tabel 2. Tanda dan Gejala Emboli Air Ketuban

No Tanda Dan Gejala %
1 Hipotensi 100
2 Gawat janin 100
3 Edema pulmonal 93
4 Cardiopulmonary arrest 87
5 Sianosis 83
6 Koagulapati 83
7 Dyspnea 47
8 Seizure / kejang 48
9 Atonia uteri 23
10 Bronkospasme 15
11 Transient hypertension/Hipertensi sementara 11
12 Batuk 7
13 Sakit kepala 7
14 Nyeri dada 2

Sumber: Gist et al (2009)25

 

5. Faktor Risiko Emboli Air Ketuban

  • Usia
  • Multipara
  • Faktor Psikologis yang menyebabkan kontraksi
  • Induksi persalinan
  • Instrumen partus pervaginam
  • Kehamilan lewat waktu/postmatur
  • Seksio Sesarea
  • Ruptura uteri
  • Polihidramnion
  • Robekan leher rahim yang banyak
  • Abrupsio plasenta
  • IUFD
  • Bayi besar
  • Meconeum stained dalam cairan amnion
  • Eklampsia
  • Gawat janin
  • Trauma abdomen
  • Intervensi bedah
  • Amnioinfusi dengan salin
  • Meconeum bayi laki-laki

 

6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala diatas. Beberapa diagnosa banding dari emboli air ketuban antara lain:

a. Penyebab obstetri

  • Perdarahan akut
  • Abrupsio plasenta
  • Ruptura uteri
  • Eklampsia
  • Cardyomiopati peripartum

b. Penyebab anestesi

  • Anestesi spinal yang tingi
  • Aspirasi
  • Keracunan anestesi lokal

c. Penyebab non obstetric

  • Emboli paru
  • Emboli udara
  • Anafilaksis
  • Syok sepsis

7. Penanganan

Kondisi emboli air ketuban yang ditemukan secara dini akan memberikan outcome yang leih baik. Manajemen emboli air ketuban antara lain:

  • Tindakan yang paling pertama dilakukan adalah oleh bidah adalah resusitasi ABC
  • Berikan oksigen dengan konsentrasi 100% à intubasi
  • Monitoring VS secara kontinyu
  • IVFD dengan gauge yang besar (16-18G) à pertimbangkan input cairan agar tidak menyebabkan edema paru
  • Segera dirujuk

Selanjutnya tindakan yang lebih lanjut dapat dilakukan oleh tenaga ahli di tempat rujukan

  • Kateterisasi arteri à menitoring tekanan darah yang akurat dan pemeriksaan darah
  • Lahirkan Bayi dengan tindakan resusitasi yang cepat dan tepat agar dapat mereduksi sekuele

 

8. Prognosis

  • Diagnosis dan tindakan yang tepat dengan segera : prognosis baik
  • Diagnosis dan tindakan yang lambat : prognosis buruk, mortalitas tinggi.

 

Referensi:

  1. Mercer BM, Milluzzi C, Colin M. Periviable birth at 20 to 26 weeks of gestation: proximate causes, previous obstetric history and recurrence risk. Am J Obstet Gynecol. 2005;3(2):1175-80.
  1. Mercer BM. Preterm premature rupture of the membranes: diagnosis and management. Clin Perinatol. 2004;4:765-82.
  1. Aagards-Tillery KM, Nurthalapaty FS, Ramsey PS, Ramin KD. Preterm premature rupture of the membranes: perspectives surrounding controversies in management. . Am J Obstet Gynecol. 2005;22:287-97.
  1. Saifuddin AB, Wiknjosastro GH, Affandi B, Waspodo D, editors. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2004.
  1. Jazayeri A. Premature Rupture of Membranes. 2014 September 29, 2014. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview – aw2aab6b3.
  1. Premature Rupture of Membranes (PROM)/Preterm Premature Rupture of Membranes(PPROM). Health Encyclopedia [Internet]. 29 September 2014. Available from: http://www.urmc.rochester.edu/Encyclopedia/Content.aspx?ContentTypeID=90&ContentID=P02496.
  1. Varney H, Kriebs JM, Gegor CL. Varney’s Pocket Midwife. Boston: Jones and Bartlett Publisher, Inc; 1998.
  1. Medina TM. Preterm Premature Rupture of Membranes: Diagnosis and Management. American Family Physician. 2006;73(4):659-64. Epub February 15, 2006.
  1. com. Amniotic Fluid Index (AFI). PerinatologyCom:Glosary [Internet]. September 29, 2014. Available from: http://www.perinatology.com/Reference/glossary/A/Amniotic Fluid Index.htm.
  1. Ultrasoundpaedia. 3rd Trimester Ultrasound – Normal. Ultrasounpaedia [Internet]. Available from: http://www.ultrasoundpaedia.com/normal-3rdtrimester/.
  1. Devore GR. Amniotic Fluid Index. Fetal Diagnostic Centers [Internet]. September 29, 2014. Available from: http://www.fetal.com/IUGR/treatment.html.
  1. Tita ATN, Andrews WW. Diagnosis and Management of Clinical Chorioamnionitis. Clin Perinatol. 2010;37(2):339-54.
  2. Soper DE, Mayhall CG, Froggatt JW. Characterization ans control of intraamniotic infection an urban teaching hospital. Am J Obstet Gynecol. 1996;175(2):304-9.
  1. Rickert VI, Wiemann CM, Hankins GD, Mackee JM, Berenson AB. Prevalence and risk factor of chorioamnionitis among adolescents. Obstet Gynecol. 1998;92(2):254-7.
  1. Seaward PG, Hannah ME, T.L M, Farine D, Ohlsson A, Wang EE, et al. International multicentre term prelabor rupture of membranes study: evaluation of predictors of clinical chorioamnionitis and postpartum fever in patients with prelabor rupture of membranes at term. Am J Obstet Gynecol. 1997;177(5):1024-9.
  1. Yancey MK, Duff P, Clark P, Kurtzer T, Frentzen BH, Kubilis P. Peripartum infection associated woth vaginal group B streptococcal clolonization. Obstet Gynecol. 1994;84(5):816-9.
  1. Anderson BL, Simhan HN, Simons KM, Wiesenfeld HC. Untreated asymtomatic group B streptococcal bacteria early in pregnancy and chorioamnionitis at delivery. Am J Obstet Gynecol. 2007;196(6):524-5.
  1. Newton ER, Pearis W. Bacterial vaginosis anf intraamniotic infection. Am J Obstet Gynecol. 1997;176(3):672-7.
  1. Tran SH, Caughey AB, Musci TJ. Meconium-stained amniotic fluid is association with puerperal infection. Am J Obstet Gynecol. 2003;189:784.
  1. Premature rupture of membranes. Clinical management guidelines for obstetrician-gynecologists. Obstet Gynecol. 2007;109(4):1007-19.
  1. Simhan HN, Canavan TP. Preterm premature rupture of membranes: diagnosis, evaluation and management strategies. BJOG. 2005;112(Suppl 1):32-7.
  1. Dare MR, Middleton P, Crowther CA, Flenady VJ, Varatharaju B. Planed early birth versus expectant management (waiting) for prelabour rupture of membranes at term (37 weeks or more). Cochrane Database Syst Rev. 2006(1).
  1. Toy H. Amniotic Fluid Embolism. Eur J Gen Med. 2009;6(2):108-15.
  1. Lindsday P. Complications of the Third of the Stage of Labour. In: Henderson C, Macdonald S, editors. Maye’s Midwifery, A Textbook for Midwives London: Bailiere Tindall; 2004.
  1. Gist RS, Stafford IP, Leibowitz AB, Beilin Y. Amniotic Fluid Embolism. Anest analg. 2009;108(5):1599-602. Epub May 2009.

About Moudy E.U Djami

Lahir dan besar di So'E, Kab Timor Tengah Selatan, Prop Nusa Tenggara Timur, telah menyelesaikan studi di Akper Bethesda Yogyakarta-Program Pendidikan Bidan-A (PPBA) D4 Bidan Pendidik di Poltekes Depkes Jakarta III, S2 Kesehatan Reproduksi dari Universitas Indonesia dan S2 Ilmu Kebidanan dari Universitas Padjadjaran Bandung serta S3 Manajemen Pendidikan di Universitas Pakuan Bogor. Riwayat Pekerjaan pernah bekerja sebagai bidan desa di desa Supul, TTS, NTT, bidan pelaksana di RSMM Timika, RS Puri Cinere Depok, Klinik Medika Timika, RSTM Timika dan Akademi Kebidanan Bina Husada Tangerang. Menikah dengan Ong Tjandra dan dikaruniai seorang putri tercinta Alexa Candika. Rutinitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga dan juga tenaga pendidik di Program Studi Sarjana Kebidanan dan Pendidikan Profesi Bidan Universitas Binawan Jakarta, serta bidan pengelola di Klinik Spesialis Sehati Tangerang.
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment